Powered By Blogger

Senin, 06 Juni 2011

Sederhana Dalam Sunnah Lebih Baik Daripada Bersungguh-sungguh Dalam Bid’ah

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, bahwasanya ia berkata :
اقتصاد في سنة خير من اجتهاد في بدعة
“Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.” [HR. ad-Darimi (223), al-Lalika'i (1/55, 88) dan yang selainnya. Atsar ini shohih.]
Dari Sa’id bin al-Musayyib, bahwa ia melihat seseorang sholat setelah fajar lebih dari 2 roka’at, ia memperbanyak pada sholat 2 roka’at itu rukuk dan sujud, maka ia (Sa’id) melarangnya. Maka orang itu berkata : “Wahai Aba Muhammad, apakah Allah akan mengadzabku karena sholat?” Ia menjawab : “Tidak, akan tetapi Allah akan mengadzabmu karena engkau menyelisihi sunnah.” [HR. al-Khotib dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (1/147)]
Dari Sufayan bin Uyainah, ia berkata : aku mendengar Malik bin Anas ketika seseorang mendatanginya, lalu orang itu berkata : “Wahai Aba Abdillah, darimana aku ber-ihrom?” Malik menjawab : “Dari Dzul Hulaifah, dari tempat Rasulullah ber-ihrom.” Maka orang itu berkata : “aku ingin ihrom dari masjid di sebelah kuburan (yakni masjid Nabawi, pent).” Malik mengatakan : “Jangan engkau lakukan itu, aku khawatir engkau akan tertimpa fitnah.” Orang itu berkata : “fitnah apa? Aku
kan hanya menambah beberapa mil saja.” Malik berkata : “fitnah apa yang lebih besar daripada engkau merasa melakukan yang lebih utama daripada apa yang telah diringkas oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar Allah berfirman :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63)” [HR. al-Khotib dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (1/146), dan Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (6326), dan lain-lain]
Abu Syamah berkata dalam kitab al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’i wal Hawaditsi (214) : “Telah nyata dan jelas denga taufiq dari Allah ta’ala benarnya pengingkaran oleh orang yang mengingkari sesuatu dari bid’ah-bid’ah ini walaupun bid’ah itu berupa sholat atau masjid, dan tidak usah perduli dengan celaan seorang jahil yang berkata : “bagaimana diperintahkan untuk membatalkan sholat dan merobohkan masjid”, maka tidaklah menimbangnya kecuali dengan timbangan orang yang mengatakan : “bagaimana diperintahkan untuk merobohkan masjid”, (ditimbang dengan) jika ia mendengar bahwa Nabi merobohkan masjid Dhiror; dan orang yang mengatakan : “bagaimana dilarang dari memebaca al-Qur’an dalam ruku’ dan sujud” (ditimbang) jika ia mendengar hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan dalam ash-Shohih(Shohih al-Bukhori, pent) :
نهاني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أقرأ القرآن في الركوع والسجود
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangku untuk membaca al-Qur’an dalam ruku’ dan sujud.”
Maka mengikuti sunnah lebih utama daripada menyia-nyiakan waktu dalam mengerjakan bid’ah, walaupun bid’ah tersebut dalam bentuk sholat. Andaikata kita menerima bahwa pada sholat (yang tercampur bid’ah, pent) itu masih ada ganjarannya, maka barokah mengikuti sunnah itu lebih banyak fa’idahnya dan lebih besar ganjarannya.”
[diterjemahkan oleh Ummu SHilah & Zaujuha dari Ushulul Fiqh 'Ala Madzhabi Ahlil Hadits, karya asy-Syaikh Zakariyya bin Ghulam Qodir al-Bakistani, Bab Qowa'id fil Bid'ah]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar